TUGAS MAKALAH
KEWIRAAN
Tema : Pulau – Pulau Terluar Indonesia
Dosen : R. Pudjadi, Drs., M.M.
Anggota :
Nama
wahyu rohma g
Jurusan
Teknik Informatika
STT-STMIK MITRA KARYA
Judul :
KONFLIK SIPADAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas mata kuliah “Kewiraan”.
Makalah ini bertemakan tentang “Pulau-pulau Terluar Indonesia” dan saya beri juduk “Konflik Sipadan”. Judul ini saya ambil karena banyak sekali pulau kecil yang letaknya terluar dan terabaikan, dan salahsatunya pulau Sipadan yang sekarang telah menjadi milik Malaysia
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya harapkan saran dan kritik dari semua pihak agar dapat memacu saya untuk belajar lebih baik lagi.
saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bekasi, Januari 2009
Hormat Saya,
Penulis
DAFTAR ISI
Cover ………………………………………………………………………………i
Judul ………………………………………………………………………………ii
Kata Pengantar …………………………………………………………………...iii
Daftar Isi …………………………………………………………………………iv
Bab I Pendahuluan ………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang ……………………………………………….…….....1
B. Maksud dan Tujuan …………………………………………………...3
C. Identifikasi Masalah ……………………………………………..……4
Bab II Status hukum ……………………………......……………………...……...5
A. Status hukum pulau-pulau terluar Indonesia ……………………....….5
B. Pulau Sipadan …………………………………………………...….…6
Bab III Konflik Sipadan ……………………………………………………...…...8
A. Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan …………….……………...........8
B. Trauma Sipadan di Ambalat …………………………………………..9
C. Pulau terluar Indonesia Butuh Pengawasan Ketat ...……………..….11
Bab IV Penutup ……………………………………………………………….....13
A. Kesimpulan ………………………………………………….........…13
B. Saran-saran ……………………………………………………..……13
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau Sipadan-Ligitan , Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, Sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation.
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name” .
Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik.
Perlu digaris bawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia versus bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.
Sebagai suatu hipotesa hukum, perlu dipikirkan apabila Indonesia mengklaim pulau Sipadan pada tahun 1945, bukti manakah yang akan lebih dipercaya hakim, bukti Belanda dan Indonesia ataukah bukti Inggris.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dibuatnya makalah ini adalah agar kita mengerti mengapa pulau Sipadan bisa lepas dari kedaulatan Indonesia, tulisan ini mendiskusikan kontroversi mengenai status pulau-pulau terluar Indonesia. Makalah ini juga berisikan efek yang terjadi setelah lepasnya pulau Sipadan, dan strategi pemerintah untuk mengantisipasi agar hal yang semacam ini tidak akan terulang kembali.
C. Identifikasi Masalah
1) Indonesia kehilangan pulau Sipadan
2) Pulau terluar Indonesia butuh pengawasan ketat
3) Trauma Sipadan di Ambalat
BAB II
STATUS HUKUM
A. Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia
Semua 92 pulau-pulau terluar Indonesia, termasuk di dalamnya 12 pulau-pulau kecil terluar, adalah milik Indonesia dengan dasar hukum yang kuat. Pulau-pulau tersebut telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut yakni diatur dalam perjanjian internasional, ada dalam keputusan arbitrasi dan berada dalam perundang-undangan yang jelas dan tidak pernah diprotes negara mana pun juga.
4 pulau-pulau di Aceh Barat yang berbatasan dengan India telah digunakan sebagai rujukan penentu Perjanjian Batas Landas Kontinen Indonesia-India. Salah satu dari 4 pulau-pulau ini yakni Pulau Rondo juga menjadi rujukan penentu Perjanjian Batas Landas Kontinen Indonesia-Thailand. 4 pulau-pulau kecil di Selat Malaka telah digunakan sebagai rujukan penentu Perjanjian Batas Landas Kontinen dan Laut Teritorial Indonesia-Malaysia. 4 pulau-pulau kecil di Selat Singapura telah menjadi rujukan penentu batas Laut Wilayah Indonesia-Singapura.
8 pulau-pulau kecil di ujung Selat Singapura dan di Laut Natuna menjadi rujukan penentu Perjanjian Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia di Laut Natuna. 2 pulau-pulau kecil di Laut Natuna juga menjadi rujukan penentu Perjanjian Batas Landas Kontinen Indonesia-Vietnam. 3 pulau-pulau di Laut China Selatan menjadi rujukan penentu Perjanjian Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia di Laut China Selatan.
Pulau Sebatik di Laut Sulawesi telah diatur kepemilikan dan pembagian wilayahnya secara jelas antara Belanda dan Inggris. 26 pulau-pulau kecil di Samudra Hindia dan Lautan Arafuru menjadi rujukan penentu Batas Landas Kontinen dan ZEE Indonesia-Australia.
Sementara itu 9 pulau-pulau kecil di Samudera Hindia bagian selatan Sumatra, berbatasan dengan laut lepas dan tidak ada negara sama sekali yang berhadapan dengan pulau-pulau kecil tersebut.
1 pulau di Laut Sulawesi yakni Pulau Miangas menjadi milik Indonesia karena atas warisan Belanda yang mendapatkannya melalui keputusan arbitrasi dalam sengketanya dengan AS. Belanda diputuskan mampu membuktikan effective occupation di Pulau Miangas.
92 pulau-pulau terluar tersebut, termasuk pulau-pulau terluar lainnya yang tidak diatur dalam suatu perjanjian internasional atau terdapat dalam keputusan arbitrasi, telah diatur dalam UU 4/Prp 1960 yang menjadi dasar hukum Indonesia dalam mengajukan perjuangan sebagai negara kepulauan secara hukum. Tidak ada satu negara pun yang memprotes UU 4/Prp 1960 tersebut baik dari segi proklamasi negara kepulauan mau pun dari segi penentuan titik dasar pada pulau-pulau kecil terluar yang jelas dinyatakan sebagai pulau-pulau milik Indonesia.
Selain menunjukkan bahwa pulau-pulau terluar Indonesia mempunyai dasar hukum dan solid dan telah diakui oleh negara tetangga sebagai milik Indonesia, keseluruhan bukti-bukti hukum tersebut juga menepis anggapan salah bahwa Indonesia adalah negara yang tidak mempunyai batas internasional dengan negara tetangga atau anggapan salah bahwa wilayah Indonesia secara hukum tidak jelas.
B. Pulau Sipadan
Pulau ini diakui sebagai salah satu tempat penyelaman yang terbaik di asia tenggara. Pulau sipadan terletak di batas Semporna di patai timur Sabah. Yang utama di pulau ini adalah variasi unik dari batu karang di perairan ini. Ikan-ikan butterfly yang berwarna-warni yang menghuni bukit-bukit karang sebagai tempat berlindung di dalam air menambah kemuliaan pulai ini.
Antara April dan September, kura-kura hijau dan hawksbill datang ke tepi pantai untuk bersarang di dalam pantai pasir lembut yang berwarna keemasan.di Sipadan. Pantai pasir putih yang indah mengelilingi pulau Sipadan dan keindahan yang paling nyata dari pulau ini adalah dalam perairannya.
BAB III
KONFLIK SIPADAN
A. Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan beserta pulau Ligitan. Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI), dan berharap bahwa keputusan MI dalam masalah ini dapat menutup satu babakan dalam sejarah bilateral antara Indonesia-Malaysia.
Pada sidang yang diadakan di Den Haag, MI telah mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, kata menteri, berdasarkan pertimbangan effectivite, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu). Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
Dalam konteks historis, sebenarnya Sipadan diakui masuk dalam wilayah Indonesia, tetapi dari aspek teknologi yang digunakan dan penguasaan konsep-konsep diplomasi politik modern dalam persidangan di Mahkamah Internasional, tim negosiator dari Malaysia jauh lebih unggul karena Indonesia hanya mengandalkan aspek historis.
Pemerintah Indonesia menyatakan rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil. Namun, kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa pulau ini ke Mahkamah Internasional pada 31 Mei 1997. Sesuai dengan kesekapatan antara Indonesia-Malaysia tidak ada banding setelah keputusan ini. Sebab, keputusan mahkamah ini bersifat final dan mengikat. Dalam urusan ini, pemerintah Indonesia juga percaya seluruh proses peradilan telah berlangsung secara adil dan transparan. Tentang tindak lanjut pasca keputusan MI, menteri menyatakan, langkah pertama yang diambil adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat. Untuk Sipadan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan dua pulau tersebut.
Kehilangan pulau ini berkaitan dengan keteidakjelasan pembatasan wilayah Nusantara sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperjelas garis pembatas negara. Ini menjadi kebijakan penting pada pemerintahan Megawati saat itu, yaitu menginventarisir garis batas wilayah kita agar 17.508 pulau kita tidak tercecer
B. Trauma Sipadan di Ambalat
Bermula dari lepasnya Timor Timur, 1999, kemudian kekalahan diplomasi politik kita di Mahkamah Internasional dalam mempertahankan Sipadan-Ligitan, 2002, sehingga kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia. Lepasnya kedua wilayah dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat membuat masyarakat kita trauma kemungkinan trauma Sipadan terulang untuk kasus Blok Ambalat.
Konstruksi bangunan teritorial kita dilihat dari kepentingan nasional dirasakan begitu rapuh dalam beberapa tahun terakhir. Sengketa dua blok wilayah Malaysia-Indonesia kembali memanas. Masing-masing mengklaim sebagai wilayah sah mereka. Malaysia memberi nama ND6 dan ND7 dan Indonesia menamakan Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Pertanyaannya mana yang benar?
Bantahan Pemerintah Indonesia atas klaim kedua blok di Ambalat sudah diperkirakan sebelumnya, bahkan Pemerintah Malaysia telah mempersiapkan segala hal ihwal yang terkait dengan sengketa ini. Dari segi diplomasi, Pemerintah Malaysia tidak pernah meragukan kesahihan atas klaim ND6 dan ND7 sebagai bagian dari wilayah Malaysia atas dasar peta pentas benua, 1979. Dan, juga melakukan bantahan atas konsesi eksplorasi minyak yang diberikan kepada perusahaan ENI dan Unicoal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia.
Dengan mencermati perubahan konstalasi geopolitik antarnegara, sangat penting untuk memaknai bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak lagi cukup mengandalkan aspek historis, atas terbentuknya negara-negara dunia ketiga lebih banyak berdasarkan referensi peta kolonialisme. Jauh dari itu, penguasaan perkembangan konsep diplomasi politik antara negara yang berbatasan langsung serta cara-cara pencaplokan wilayah dengan "tersembunyi" juga sangat menentukan eksistensi wilayah suatu negara. Sebagaimana yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir, seperti semakin bertambahnya wilayah daratan Singapura karena teknologi reklamasi pantai.
Oleh karena itu, dalam konteks sengketa Ambalat yang sedang memanas ini, kita tetap berharap diplomasi menjadi pilihan terbaik sebagai solusi. Dengan harapan diplomasi itu tetap mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI, tanpa pernah merelakan sejengkal pun untuk diklaim pihak luar.
C. Pulau Terluar Indonesia Butuh Pengawasan Ketat
Keberadaan pulau-pulau terluar wilayah Indonesia, yang menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 ada 92 buah, perlu diawasi ketat. Sebab, berbagai potensi yang dimiliki pulau itu, seperti kekayaan dan keindahan alamnya, menarik sejumlah pihak untuk menguasainya.
Sebagai salah satu cara pengawasan pulau-pulau terluar itu, Skuadron 5 Intai Strategis TNI Angkatan Udara (AU) yang berbasis di Makassar secara rutin melakukan pengintaian dari udara dengan menggunakan pesawat intai Boeing 737. Selama dua hari itu, pengintaian dilakukan di wilayah Komando Operasi II TNI AU, yaitu dari Sulawesi menuju pulau terluar di gugus kepulauan Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan berakhir di Bali.
Pulau terluar yang dipantau selama penerbangan itu antara lain Pulau Batik dan Mengkudu di Nusa Tenggara, Pulau Fani di Kepulauan Halmahera (Maluku), dan Pulau Fanildo di Papua.
Selama penerbangan yang rata-rata dilakukan pada ketinggian 30.000 kaki ini, prajurit TNI AU yang menjadi awak pesawat terus mengamati kondisi pulau terluar itu dan laut yang mereka lewati. Dengan bantuan radar yang tersedia dalam pesawat, kondisi pulau atau perairan yang dilewati terlihat jelas. Jika ada yang mencurigakan, pesawat lalu menurunkan ketinggian untuk mendapatkan data yang lebih jelas.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Daryatmo menuturkan, semua hasil pengamatan itu dilaporkan kepada atasan yang lebih tinggi, seperti Komandan Komando Operasi AU dan Markas Besar TNI. Sifat laporan adalah real time (saat itu juga).
Pengintaian ini amat penting karena hilangnya sebuah pulau, berarti hilang pula perairan sepanjang 12 mil dari garis pantai pulau itu. Ada berbagai cara yang dilakukan pihak asing untuk menguasai pulau terluar itu, misalnya menikah dengan penduduk asli. Dari sana, warga asing itu lalu membeli tanah di pulau itu.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehilangan pulau Sipadan adalah bukti ketidak pedulian pemerintah terhadap pulau-pulau terluar Indonesia, sehingga tanpa sepengetahuan kita ternyata pulau tersebut sudah dimanfaatkan oleh negara lain dan bahkan sampai dijual-belikan oleh orang asing.
Selama ini pemerintah Malaysia telah memanfaatkan pulau sipadan sebagai tempat wisata bagi mereka dan penambangan hasil bumi, hingga akhirnya pemerintah Indonesia dianggap tidak peduli terhadap pulau sipadan karena tidak ada yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan pulau tersebut.
B. Saran – saran
1) Kita harus memeperketat pengamanan pulau – pulau terluar Indonesia karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah sehingga mencadi incaran para negara tetangga.
2) Pulau – pulau terluar Indonesia memiliki alam yang indah yang bisa dimanfaatkan sebagai pariwisata untuk menambah pendapatan negara.
3) Pemberian nama pulau – pulau kecil sangat penting karena Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak sekali pulau – pulau kecil yang tidak terindentifikasi.
4) Pemerintah harus belajar dari terebutnya pulau Sipadan – Ligitan ke tangan Malaysia dan cepat melakukan langkah antisipasi agar tidak terulang kembali.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/pulau_sipadan.
Fathoni, Riza. 2008 . Presiden: jaga keamanan pulau terluar Indonesia (Rabu,24/ 12/08). www.kompas.com.
----------------. 2008. Indonesia kehilangan pulau Sipadan-Ligitan. www.tempo.co .id.
Sudijono. 2009. Ambalat, buntut Sipadan-Ligitan. http://www.detiknews.com/ read/2009/02/13/140056/1084476/10/cegah-sipadan-ligitan-jilid-ii-pemerintah-diminta-tanggap#.
Ghazali, Rusman. 2008. Trauma Sipadan-Ligitan di Ambalat. www.wikipedia .com.
Oegroseno, Arif Havas. 2008. Status hukum pulau-pulau terluar Indonesia. http:// www.kompas.com/kompas-cetak/0708/27/politikhukum/3793853.htm
Daftar Pulau Terluar Indonesia
Lampiran ini memuat daftar pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Peraturan Presiden tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2005.
No. Nama pulau Koordinat titik terluar Perairan Wilayah administrasi
1. Batu Mandi
2° 52′ 10″ LU, 100° 41′ 5″ BT
Selat Malaka Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau
2. Berhala
3° 46′ 38″ LU, 99° 30′ 3″ BT
Selat Malaka
Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara
3. Damar
2° 44′ 29″ LU, 105° 22′ 46″ BT
Laut Natuna
Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
4. Dolangan
1° 22′ 40″ LU, 120° 53′ 4″ BT
Laut Sulawesi Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah
5. Gosong Makasar
3° 59′ 25″ LU, 117° 57′ 42″ BT
Laut Sulawesi Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
6. Iyu Kecil
1° 11′ 30″ LU, 103° 21′ 8″ BT
Selat Malaka Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau
7. Karimun Kecil
1° 9′ 59″ LU, 103° 23′ 20″ BT
Selat Malaka Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau
8. Kepala
2° 38′ 42″ LU, 109° 10′ 4″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
9. Lingian
0° 59′ 55″ LU, 120° 12′ 50″ BT
Selat Makasar Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah
10. Mangkai
3° 5′ 32″ LU, 105° 35′ 0″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
11. Maratua
2° 15′ 12″ LU, 118° 38′ 41″ BT
Laut Sulawesi Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
12. Salando
1° 20′ 16″ LU, 120° 47′ 31″ BT
Laut Sulawesi Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah
13. Sambit
1° 46′ 53″ LU, 119° 2′ 26″ BT
Laut Sulawesi Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
14. Sebatik
4° 10′ 0″ LU, 117° 54′ 0″ BT
Selat Makasar Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
15. Semiun
4° 31′ 9″ LU, 107° 43′ 17″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
16. Sentut
1° 2′ 52″ LU, 104° 49′ 50″ BT
Selat Singapura
Kabupaten Kepulauan Riau, Kepulauan Riau
17. Senua
4° 0′ 48″ LU, 108° 25′ 4″ BT
Laut China Selatan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
18. Subi Kecil
3° 1′ 51″ LU, 108° 54′ 52″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
19. Tokong Belayar
3° 27′ 4″ LU, 106° 16′ 8″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
20. Tokong Malang Biru
2° 18′ 0″ LU, 105° 35′ 47″ BT
Laut Natuna
Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
21. Tokong Nanas
3° 19′ 52″ LU, 105° 57′ 4″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
22. Tokongboro
4° 4′ 1″ LU, 107° 26′ 9″ BT
Laut Natuna Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Referensi
• Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005
• Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 beserta penjelasannya di DKP
Foto-foto Pulau Sipadan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar